BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa adalah alat komunikasi bagi manusia, baik
secara lisan maupun tertulis. Hal ini merupakan fungsi dasar bahasa yang tidak
dihubungkan dengan status dan nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan
kehidupan sehari-hari yang di dalamnya selalu ada nilai-nilai dan status bahasa
tidak dapat ditinggalkan.
Bahasa mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang digunakan
berdasarkan kebutuhan seseorang, karena dengan menggunakan bahasa seseorang
juga dapat mengekspresikan dirinya, fungsi bahasa sangat berabagam. Bahasa
digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi, selain itu bahasa juga digunakan
sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan
atau situasi tertentu dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahasa memang
sangat penting digunakan. Karena bahasa merupakan simbol yang di hasilkan
menjadi alat ucap yang biasa digunakan oleh sesama masyarakat. Dalam kehidupan
sehari-hari hampir semua aktifitas kita menggunakan bahasa. Baik menggunakan
bahasa secara lisan maupun secara tulisan dan bahasa tubuh. Bahkan saat kita
tidur pun tanpa sadar kita menggunakan bahasa.
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan
dibahas dalam kami yaitu Peran Dan Fungsi Bahasa Indonesia Dalam
Berbangsa Dan Bernegara.
BAB II PEMBAHASAN
Peran Dan Fungsi Bahasa
Indonesia Dalam Berbangsa Dan Bernegara
A.
Konsep Dasar Kedudukan dan Fungsi Bahasa
Istilah
kedudukan dan fungsi tentunya sering kita dengar, bahkan pernah
kita pakai. Misalnya dalam kalimat “Bagaimana kedudukan dia sekarang?”, “Apa
fungsi baut yang Saudara pasang pada mesin ini?”, dan sebagainya. Kalau kita
pernah memakai kedua istilah itu tentunya secara tersirat kita sudah mengerti
maknanya. Hal ini terbukti bahwa kita tidak pernah salah pakai menggunakan
kedua istilah itu. Kalau demikian halnya, apa sebenarnya pengertian kedudukan
dan fungsi bahasa? Samakah dengan pengertian yang pernah kita pakai?
Kita
tahu bahwa bahasa sebagai alat komunikasi lingual manusia, baik secara terlisan
maupun tertulis. Ini adalah fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan
status dan nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan
sehari-hari, yang di dalamnya selalu ada nilai-nilai dan status, bahasa tidak
dapat ditinggalkan. Ia selalu mengikuti kehidupan manusia sehari-hari, baik
sebagai manusia anggota suku maupun anggota bangsa. Karena kondisi dan
pentingnya bahasa itulah, maka ia diberi ‘label’ secara eksplisit oleh
pemakainya yang berupa kedudukan dan fungsi tertentu.
Kedudukan
dan fungsi bahasa yang dipakai oleh pemakainya (baca: masyarakat bahasa) perlu
dirumuskan secara eksplisit, sebab kejelasan ‘label’ yang diberikan akan
mempengaruhi masa depan bahasa yang bersangkutan. Pemakainya akan menyikapinya
secara jelas terhadapnya. Pemakaiannya akan memperlakukannya sesuai dengan
‘label’ yang dikenakan padanya.
Di
pihak lain, bagi masyarakat yang dwi bahasa (dwilingual), akan dapat
‘memilah-milahkan’ sikap dan pemakaian kedua atau lebih bahasa yang
digunakannya. Mereka tidak akan memakai secara sembarangan. Mereka bisa
mengetahui kapan dan dalam situasi apa bahasa yang satu dipakai,
dan kapan dan dalam situasi apa pula bahasa yang lainnya dipakai. Dengan
demikian perkembangan bahasa (-bahasa) itu akan menjadi terarah. Pemakainya
akan berusaha mempertahankan kedudukan dan fungsi bahasa yang telah
disepakatinya dengan, antara lain, menyeleksi unsur-unsur bahasa lain yang ‘masuk’
ke dalamnya. Unsur-unsur yang dianggap menguntungkannya akan diterima,
sedangkan unsur-unsur yang dianggap merugikannya akan ditolak.
Sehubungan
dengan itulah maka perlu adanya aturan untuk menentukan kapan, misalnya, suatu
unsur lain yang mempengaruhinya layak diterima, dan kapan seharusnya ditolak.
Semuanya itu dituangkan dalam bentuk kebijaksanaan pemerintah yang
bersangkutan. Di negara kita itu disebut Politik Bahasa Nasional, yaitu
kebijaksanaan nasional yang berisi perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan
yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pemecahan keseluruhan masalah bahasa.
B.
Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional
Janganlah
sekali-kali disangka bahwa berhasilnya bangsa Indonesia mempunyai bahasa
Indonesia ini bagaikan anak kecil yang menemukan kelereng di tengah jalan.
Kehadiran bahasa Indonesia mengikuti perjalanan sejarah yang panjang. (Untuk
meyakinkan pernyataan ini, silahkan dipahami sekali lagi Sejarah
Perkembangan Bahasa Indonesia.) Perjalanan itu dimulai sebelum kolonial
masuk ke bumi Nusantara, dengan bukti-bukti prasasti yang ada, misalnya yang
didapatkan di Bukit Talang Tuwo dan Karang Brahi serta batu nisan di Aceh,
sampai dengan tercetusnya inpirasi persatuan pemuda-pemuda Indonesia pada
tanggal 28 Oktober 1928 yang konsepa aslinya berbunyi:
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mengakoe bertoempah darah satoe,
Tanah Air Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mengakoe berbangsa satoe,
Bangsa Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mendjoendjoeng bahasa persatoean,
Bahasa Indonesia.
Dari ketiga butir di atas yang
paling menjadi perhatian pengamat (baca: sosiolog) adalah butir ketiga. Butir
ketiga itulah yang dianggap sesuati yang luar biasa. Dikatakan demikian, sebab
negara-negara lain, khususnya negara tetangga kita, mencoba untuk membuat hal
yang sama selalu mengalami kegagalan yang dibarengi dengan bentrokan sana-sini.
Oleh pemuda kita, kejadian itu dilakukan tanpa hambatan sedikit pun, sebab
semuanya telah mempunyai kebulatan tekad yang sama. Kita patut bersyukur dan
angkat topi kepada mereka.
Kita tahu bahwa saat itu, sebelum
tercetusnya Sumpah Pemuda, bahasa Melayu dipakai sebagai lingua franca
di seluruh kawasan tanah air kita. Hal itu terjadi sudah berabad-abad
sebelumnya. Dengan adanya kondisi yang semacam itu, masyarakat kita sama sekali
tidak merasa bahwa bahasa daerahnya disaingi. Di balik itu, mereka telah
menyadari bahwa bahasa daerahnya tidak mungkin dapat dipakai sebagai alat perhubungan
antar suku, sebab yang diajak komunikasi juga mempunyai bahasa daerah
tersendiri. Adanya bahasa Melayu yang dipakai sebagai lingua franca ini
pun tidak akan mengurangi fungsi bahasa daerah. Bahasa daerah tetap dipakai
dalam situasi kedaerahan dan tetap berkembang. Kesadaran masyarakat yang
semacam itulah, khusunya pemuda-pemudanya yang mendukung lancarnya inspirasi
sakti di atas.
Apakah ada bedanya bahasa Melayu
pada tanggal 27 Oktober 1928 dan bahasa Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928?
Perbedaan ujud, baik struktur, sistem, maupun kosakata jelas tidak ada. Jadi,
kerangkanya sama. Yang berbeda adalah semangat dan jiwa barunya. Sebelum Sumpah
Pemuda, semangat dan jiwa bahasa Melayu masih bersifat kedaerahan atau jiwa
Melayu. Akan tetapi, setelah Sumpah Pemuda semangat dan jiwa bahsa Melayu sudah
bersifat nasional atau jiwa Indonesia. Pada saat itulah, bahasa Melayu yang
berjiwa semangat baru diganti dengan nama bahasa Indonesia.
“Hasil Perumusan Seminar Politik
Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari
1975 antara lain menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional,
bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang
identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai-bagai masyarakat yang
berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya, dan (4) alat
perhubungan antarbudaya antardaerah.
Sebagai lambang kebanggaan nasional,
bahasa Indonesia ‘memancarkan’ nilai-nilai sosial budaya luhur bangsa
Indonesia. Dengan keluhuran nilai yang dicerminkan bangsa Indonesia, kita harus
bangga dengannya; kita harus menjunjungnya; dan kita harus mempertahankannya.
Sebagai realisasi kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia, kita harus
memakainya tanpa ada rasa rendah diri, malu, dan acuh tak acuh. Kita harus
bngga memakainya dengan memelihara dan mengembangkannya.
Sebagai lambang identitas nasional,
bahasa Indonesia merupakan ‘lambang’ bangsa Indonesia. Ini beratri, dengan
bahasa Indonesia akan dapat diketahui siapa kita, yaitu sifat, perangai, dan
watak kita sebagai bangsa Indonesia. Karena fungsinya yang demikian itu, maka
kita harus menjaganya jangan sampai ciri kepribadian kita tidak tercermin di
dalamnya. Jangan sampai bahasa Indonesia tidak menunjukkan gambaran bangsa
Indonesia yang sebenarnya.
Dengan fungsi yang ketiga
memungkinkan masyarakat Indonesia yang beragam latar belakang sosial budaya dan
berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan bersatu dalam kebangsaan, cita-cita,
dan rasa nasib yang sama. Dengan bahasa Indonesia, bangsa Indonesia merasa aman
dan serasi hidupnya, sebab mereka tidak merasa bersaing dan tidak merasa lagi
‘dijajah’ oleh masyarakat suku lain. Apalagi dengan adanya kenyataan bahwa
dengan menggunakan bahasa Indonesia, identitas suku dan nilai-nilai sosial
budaya daerah masih tercermin dalam bahasa daerah masing-masing. Kedudukan dan
fungsi bahasa daerah masih tegar dan tidak bergoyah sedikit pun. Bahkan, bahasa
daerah diharapkan dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia.
Dengan fungsi keempat, bahasa
Indonesia sering kita rasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Bayangkan
saja apabila kita ingin berkomunikasi dengan seseorang yang berasal dari suku
lain yang berlatar belakang bahasa berbeda, mungkinkah kita dapat bertukar
pikiran dan saling memberikan informasi? Bagaimana cara kita seandainya kita
tersesat jalan di daerah yang masyarakatnya tidak mengenal bahasa Indonesia?
Bahasa Indonesialah yang dapat menanggulangi semuanya itu. Dengan bahasa
Indonesia kita dapat saling berhubungan untuk segala aspek kehidupan. Bagi
pemerintah, segala kebijakan dan strategi yang berhubungan dengan ideologi,
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan kemanan (disingkat: ipoleksosbudhankam)
mudah diinformasikan kepada warganya. Akhirnya, apabila arus informasi
antarkita meningkat berarti akan mempercepat peningkatan pengetahuan kita.
Apabila pengetahuan kita meningkat berarti tujuan pembangunan akan cepat
tercapai.
C.
Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara/Resmi
Sebagaimana kedudukannya sebagai bhasa
nasional, bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi pun mengalami perjalanan
sejarah yang panjang. Hal ini terbukti pada uraian berikut.
Secara resmi adanya bahasa Indonesia
dimulai sejak Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Ini tidak berarti sebelumnya tidak
ada. Ia merupakan sambungan yang tidak langsung dari bahasa Melayu. Dikatakan
demikian, sebab pada waktu itu bahasa Melayu masih juga digunakan dalam
lapangan atau ranah pemakaian yang berbeda. Bahasa Melayu digunakan sebagai
bahasa resmi kedua oleh pemerintah jajahan Hindia Belanda, sedangkan bahasa
Indonesia digunakan di luar situasi pemerintahan tersebut oleh pemerintah yang
mendambakan persatuan Indonesia dan yang menginginkan kemerdekaan Indonesia.
Demikianlah, pada saat itu terjadi dualisme pemakaian bahasa yang sama
tubuhnya, tetapi berbeda jiwanya: jiwa kolonial dan jiwa nasional.
Secara
terperinci perbedaan lapangan atau ranah pemakaian antara kedua bahasa itu
terlihat pada perbandingan berikut ini.
Bahasa Melayu:
|
Bahasa Indonesia:
|
a.
Bahasa resmi kedua di samping bahasa Belanda, terutama untuk tingkat yang
dianggap rendah.
b.
Bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah yang didirikan atau menurut sistem
pemerintah Hindia Belanda.
c.
Penerbitan-penerbitan yang dikelola oleh jawatan pemerintah Hindia Belanda.
|
a.
Bahasa yang digunakan dalam gerakan kebangsaan untuk mencapai kemerdekaan
Indonesia.
b.
Bahasa yang digunakan dalam penerbitan-penerbitan yang bertuju-an untuk
mewujudkan cita-cita perjuangan kemerdekaan Indonesia baik berupa:
1)
bahasa pers,
2)
bahasa dalam hasil sastra.
|
Kondisi di atas berlangsung sampai
tahun 1945.
Bersamaan dengan diproklamasikannya
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, diangkat pulalah bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara. Hal itu dinyatakan dalam Uud 1945, Bab XV,
Pasal 36. Pemilihan bahasa sebagai bahasa negara bukanlah pekerjaan yang mudah
dilakukan. Terlalu banyak hal yang harus dipertimbangkan. Salah timbang akan
mengakibatkan tidak stabilnya suatu negara. Sebagai contoh konkret, negara
tetangga kita Malaysia, Singapura, Filipina, dan India, masih tetap menggunakan
bahasa Inggris sebagai bahasa resmi di negaranya, walaupun sudah berusaha
dengan sekuat tenaga untuk menjadikan bahasanya sendiri sebagai bahasa resmi.
Hal-hal
yang merupakan penentu keberhasilan pemilihan suatu bahasa sebagai bahasa
negara apabila (1) bahasa tersebut dikenal dan dikuasai oleh sebagian besar
penduduk negara itu, (2) secara geografis, bahasa tersebut lebih menyeluruh
penyebarannya, dan (3) bahasa tersebut diterima oleh seluruh penduduk negara
itu. Bahasa-bahasa yang terdapat di Malaysia, Singapura, Filipina, dan India
tidak mempunyai ketiga faktor di atas, terutama faktor yang nomor (3).
Masyarakat multilingual yang terdapat di negara itu saling ingin mencalonkan
bahasa daerahnya sebagai bahasa negara. Mereka saling menolak untuk menerima
bahasa daerah lain sebagai bahasa resmi kenegaraan. Tidak demikian halnya
dengan negara Indonesia. Ketig faktor di atas sudah dimiliki bahasa Indonesia
sejak tahun 1928. Bahkan, tidak hanya itu. Sebelumnya bahasa Indonesia sudah
menjalankan tugasnya sebagai bahasa nasional, bahasa pemersatu bangsa
Indonesia. Dengan demikian, hal yang dianggap berat bagi negara-negara lain,
bagi kita tidak merupakan persoalan. Oleh sebab itu, kita patut bersyukur
kepada Tuhan atas anugerah besar ini.
Dalam
“Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di
Jakarta pada tanggal 25 s.d. 28 Februari 1975 dikemukakan bahwa di dalam
kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia befungsi sebagai
(1)
bahasa resmi kenegaraan,
(2)
bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan,
(3)
bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, dan
(4)
bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan
serta teknologi modern.
Keempat fungsi itu harus
dilaksanakan, sebab minimal empat fungsi itulah memang sebagai ciri penanda
bahwa suatu bahasa dapat dikatakan berkedudukan sebagai bahasa negara.
Pemakaian
pertama yang membuktikan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaran
ialah digunakannya bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi kemerdekaan RI
1945. Mulai saat itu dipakailah bahasa Indonesia dalam segala upacara, peristiwa,
dan kegiatan kenegaraan baik dalam bentuk lisan maupun tulis.
Keputusan-keputusan,
dokumen-dokumen, dan surat-surat resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah dan
lembaga-lembaganya dituliskan di dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato atas
nama pemerintah atau dalam rangka menuanaikan tugas pemerintahan diucapkan dan
dituliskan dalam bahasa Indonesia. Sehubungan dengan ini kita patut bangga
terhadap presiden kita, Soeharto yang selalu menggunakan bahasa Indonesia dalam
situsi apa dan kapan pun selama beliau mengatasnamakan kepala negara atau
pemerintah. Bagaimana dengan kita?
Sebagai
bahasa resmi, bahasa Indonesia dipakai sebagai bhasa pengantar di
lembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan
tinggi. Hanya saja untuk kepraktisan, beberapa lembaga pendidikan rendah yang
anak didiknya hanya menguasai bahasa ibunya (bahasa daerah) menggunakan bahasa
pengantar bahasa daerah anak didik yang bersangkutan. Hal ini dilakukan sampai
kelas tiga Sekolah Dasar.
Sebagai
konsekuensi pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di lembaga
pendidikan tersebut, maka materi pelajaran ynag berbentuk media cetak hendaknya
juga berbahasa Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan menerjemahkan
buku-buku yang berbahasa asing atau menyusunnya sendiri. Apabila hal ini
dilakukan, sangatlah membantu peningkatan perkembangan bahasa Indonesia sebagai
bahasa ilmu pengetahuan dan teknolologi (iptek). Mungkin pada saat mendatang
bahasa Indonesia berkembang sebagai bahasa iptek yang sejajar dengan bahasa
Inggris.
Sebagai
fungsinya di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, bahasa Indonesia
dipakai dalam hubungan antarbadan pemerintah dan penyebarluasan informasi
kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu hendaknya diadakan penyeragaman sistem
administrasi dan mutu media komunikasi massa. Tujuan penyeragaman dan
peningkatan mutu tersebut agar isi atau pesan yang disampaikan dapat dengan
cepat dan tepat diterima oleh orang kedua (baca: masyarakat).
Akhirnya, sebagai fungsi
pengembangan kebudayaan nasional, ilmu, dan teknologi, bahasa Indonesia terasa
sekali manfaatnya. Kebudayaan nasional yang beragam itu, yang berasal dari
masyarakat Indonesia yang beragam pula, rasanya tidaklah mungkin dapat
disebarluaskan kepada dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia dengan bahasa
lain selain bahasa Indonesia. Apakah mungkin guru tari Bali mengajarkan menari
Bali kepada orang Jawa, Sunda, dan Bugis dengan bahasa Bali? Tidak mungkin! Hal
ini juga berlaku dalam penyebarluasan ilmu dan teknologi modern. Agar jangkauan
pemakaiannya lebih luas, penyebaran ilmu dan teknologi, baik melalui buku-buku
pelajaran, buku-buku populer, majalah-majalah ilmiah maupun media cetak lain,
hendaknya menggunakn bahasa Indonesia. Pelaksanaan ini mempunyai hubungan
timbal-balik dengan fungsinya sebagai bahasa ilmu yang dirintis lewat
lembaga-lembaga pendidikan, khususnya di perguruan tinggi.
D.
Perbedaan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional dan Bahasa Indonesia sebagai
Bahasa Negara/Resmi
Perbedaan dari Segi Ujudnya
Apabila
kita mendengarkan pidato sambutan Menteri Sosial dalm rangka peringatan Hari
Hak-hak Asasi Manusia dan pidato sambutan Menteri Muda Usaha wanita dalam
rangka peringatan Hari Ibu, misalnya, tentunya kita tidak menjumpai
kalimat-kalimat yang semacam ini.
“Sodara-sodara! Ini hari adalah hari
yang bersejarah. Sampeyan tentunya udah tau, bukan? Kalau kagak tau yang
kebacut, gitu aja”.
Kalimat yang semacam itu juga tidak
pernah kita jumpai pada waktu kita membaca surat-surat dinas, dokumen-dokumen
resmi, dan peraturan-peraturan pemerintah.
Di sisi lain, pada waktu kita
berkenalan dengan seseorang yang berasal dari daerah atau suku yang berbeda,
pernahkah kita memakai kata-kata seperti ‘kepingin’, ‘paling banter’, ‘kesusu’
dan ‘mblayu’? Apabila kita menginginkan tercapainya tujuan komunikasi, kita
tidak akan menggunakan kata-kata yang tidak akan dimengerti oleh lawan bicara
kita sebagaimana contoh di atas. Kita juga tidak akan menggunakan struktur-struktur
kalimat yang membuat mereka kurang memahami maksudnya.
Yang menjadi masalah sekarang ialah
apakah ada perbedan ujud antara bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi
sebagaimana yang kita dengar dan kita baca pada contoh di atas, dan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional, sebagaimana yang pernah juga kita lakukan
pada saat berkenalan dengan seeorang lain daerah atau lain suku? Perbedaan
secara khusus memang ada, misalnya penggunaan kosakata dan istilah. Hal ini
disebabkan oleh lapangan pembicaraannya berbeda. Dalam lapangan politik
diperlukan kosakata tertentu yang berbeda dengan kosakata yang diperlukan dalam
lapangan administrasi. Begitu juga dalam lapangan ekonomi, sosial, dan yang
lain-lain. Akan tetapi, secara umum terdapat kesamaan. Semuanya menggunakan
bahasa yang berciri baku. Dalam lapangan dan situasi di atas tidak pernah
digunakan, misalnya, struktur kata ‘kasih tahu’ (untuk memberitahukan),
‘bikin bersih’ (untuk membersihkan), ‘dia orang’ (untuk mereka),
‘dia punya harga’ (untuk harganya), dan kata ‘situ’ (untuk Saudara,
Anda, dan sebagainya), ‘kenapa’ (untuk mengapa), ‘bilang’ (untuk mengatakan),
‘nggak’ (untuk tidak), ‘gini’ (untuk begini), dan kata-kata lain
yang dianggap kurang atau tidak baku.
Perbedaan dari Proses Terbentuknya
Secara implisit, perbedaan dilihat
dari proses terbentuknya antara kedua kedudukan bahasa Indonesia, sebagai
bahasa negara dan nasional, sebenarnya sudah terlihat di dalam uraian pada
butir 1.2 dan 1.3. Akan tetapi, untuk mempertajamnya dapat ditelaah hal berikut.
Sudah kita pahami pada uraian
terdahulu bahwa latar belakang timbulnya kedudukan bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional dan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara
jelas-jelas berbeda. Adanya kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
didorong oleh rasa persatuan bangsa Indonesia pada waktu itu. Putra-putra
Indonesia sadar bahwa persatuan merupakan sesuatu yang mutlk untuk mewujudkan
suatu kekuatan. Semboyan “Bersatu kita teguh bercerai kta runtuh” benar-benar
diresapi oleh mereka. Mereka juga sadar bahwa untuk mewujudkan persatuan perlu
adanya saran yang menunjangnya. Dari sekian sarana penentu, yang tidak kalah
pentingnya adalah srana komunikasi yang disebut bahasa. Dengan pertimbangan
kesejarahan dan kondisi bahasa Indonesia yang lingua franca itu, maka
ditentukanlah ia sebagai bahasa nasional.
Berbeda halnya dengan bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara/resmi. Terbentuknya bahasa Indonesia sebagai
bahasa negara/resmi dilatarbelakangi oleh kondisi bahasa Indonesia itu sendiri
yang secara geografis menyebar pemakiannya ke hampir seluruh wilayah Indonesia
dan dikuasai oleh sebagian besar penduduknya. Di samping itu, pada saat itu
bahasa Indonesia telah disepakati oleh pemakainya sebagai bahasa pemersatu
bangsa, sehingga pada saat ditentukannya sebagai bahasa negara/resmi, seluruh
pemakai bahasa Indonesia yang sekaligus sebagai penduduk Indonesia itu
menerimanya dengan suara bulat.
Dengan demikian jelaslah bahwa
dualisme kedudukan bahasa Indonesia tersebut dilatarbelakangi oleh proses pembentukan
yang berbeda.
Perbedaan dari Segi Fungsinya
Setelah kita menelaah uraian
terdahulu, kita mengetahui bahwa fungsi kedudukan bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional berbeda sekali dengan fungsi kedudukan bahasa Indonesia sebagai
bahasa negara. Perbedan itu terlihat pada wilayah pemakaian dan tanggung jawab
kita terhadap pemakaian fungsi itu. Kapan bahasa Indonesia sebagai bahasa
negara/resmi dipakai, kiranya sudah kita ketahui.
Yang
menjadi masalah kita adalah perbedaan sehubungan dengn tanggung jawab kita
terhadp pemakaian fungsi-fungsi itu. Apabila kita menggunakan bahasa Indonesia
sebagai fungsi tertentu, terdapat kaitan apa dengan kita? Kita berperan sebagai
apa sehingga kita berkewajiban moralmenggunakan bahasa Indonesia sebagai fungsi
tertentu? Jawaban atas pertanyaan itulah yng membedakan tanggung jawab kita
terhadap pemakaian fungsi-fungsi bahasa Indonesia baik dalam kedudukannya
sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara/resmi.
Kita
menggunakan sebagai bahasa negara/resmi dipakai sebagai alat penghubung
antarsuku, misalnya, karena kita sebagai bangsa Indonesia yang hidup di wilayah
tanah air Indonesia. Sehubungan dengan itu, apabila ada orang yang berbangsa
lain yang menetap di wilayah Indonesia dan mahir berbahasa Indonesia, dia tidak
mempunyai tanggung jawab moral untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai
fungsi tersebut.
Lain
halnya dengan contoh berikut ini. Walaupun Ton Sin Hwan keturunan Cina, tetapi
karena dia warga negara Indonesia dan secara kebetulan menjabat sebagai Ketua
Lembaga Bantuan Hukum, maka pada saat dia memberikan penataran kepada
anggotnyan berkewajiban moral untuk menggunakan bahasa Indonesia. Tidak perduli
apakah dia lancar berbahasa Indonesia atau tidak. Tidak perduli apakah semua
pengikutnya keturunan Cina yang berwarga negara Indonesia ataukah tidak.
Jadi
seseorang menggunakan bahasa Indonesia sebagai penghubung antarsuku, karena dia
berbangsa Indonesia yang menetap di wilayah Indonesia; sedangkan seseorang
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, karena dia sebagai warga
negara Indonesia yang menjalankan tugas-tugas ‘pembangunan’ Indonesia.
|
BAB III PENUTUP
A. Simpulan
Dari uraian diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa
Sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia dipakai sebagai bhasa pengantar di
lembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan
tinggi. Hanya saja untuk kepraktisan, beberapa lembaga pendidikan rendah yang
anak didiknya hanya menguasai bahasa ibunya (bahasa daerah) menggunakan bahasa
pengantar bahasa daerah anak didik yang bersangkutan. Hal ini dilakukan sampai
kelas tiga Sekolah Dasar.
Bahasa adalah alat komunikasi bagi manusia, baik secara lisan maupun
tertulis. Hal ini merupakan fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan
status dan nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari
yang di dalamnya selalu ada nilai-nilai dan status bahasa tidak dapat
ditinggalkan.
B.
Saran
Bahasa adalah alat komunikasi bagi manusia, baik
secara lisan maupun tertulis. Hal ini merupakan fungsi dasar bahasa yang tidak
dihubungkan dengan status dan nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan
kehidupan sehari-hari yang di dalamnya selalu ada nilai-nilai dan status bahasa
tidak dapat ditinggalkan.