ini blog ku silah kan anda menikmati

About Us

Pages

Selasa, 22 Oktober 2013

makalah peran dan fungsi bahasa indonesia dalam berbangsa dan bernegara








BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
 Bahasa adalah alat komunikasi bagi manusia, baik secara lisan maupun tertulis. Hal ini merupakan fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari yang di dalamnya selalu ada nilai-nilai dan status bahasa tidak dapat ditinggalkan.
Bahasa mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, karena dengan menggunakan bahasa seseorang juga dapat mengekspresikan dirinya, fungsi bahasa sangat berabagam. Bahasa digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi, selain itu bahasa juga digunakan sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahasa memang sangat penting digunakan. Karena bahasa merupakan simbol yang di hasilkan menjadi alat ucap yang biasa digunakan oleh sesama masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari hampir semua aktifitas kita menggunakan bahasa. Baik menggunakan bahasa secara lisan maupun secara tulisan dan bahasa tubuh. Bahkan saat kita tidur pun tanpa sadar kita menggunakan bahasa.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam kami yaitu Peran  Dan Fungsi Bahasa Indonesia Dalam Berbangsa Dan Bernegara.




BAB II PEMBAHASAN

Peran  Dan Fungsi Bahasa Indonesia Dalam Berbangsa Dan Bernegara
A.    Konsep Dasar Kedudukan dan Fungsi Bahasa
Istilah kedudukan dan fungsi tentunya sering kita dengar, bahkan pernah kita pakai. Misalnya dalam kalimat “Bagaimana kedudukan dia sekarang?”, “Apa fungsi baut yang Saudara pasang pada mesin ini?”, dan sebagainya. Kalau kita pernah memakai kedua istilah itu tentunya secara tersirat kita sudah mengerti maknanya. Hal ini terbukti bahwa kita tidak pernah salah pakai menggunakan kedua istilah itu. Kalau demikian halnya, apa sebenarnya pengertian kedudukan dan fungsi bahasa? Samakah dengan pengertian yang pernah kita pakai?
Kita tahu bahwa bahasa sebagai alat komunikasi lingual manusia, baik secara terlisan maupun tertulis. Ini adalah fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, yang di dalamnya selalu ada nilai-nilai dan status, bahasa tidak dapat ditinggalkan. Ia selalu mengikuti kehidupan manusia sehari-hari, baik sebagai manusia anggota suku maupun anggota bangsa. Karena kondisi dan pentingnya bahasa itulah, maka ia diberi ‘label’ secara eksplisit oleh pemakainya yang berupa kedudukan dan fungsi tertentu.
Kedudukan dan fungsi bahasa yang dipakai oleh pemakainya (baca: masyarakat bahasa) perlu dirumuskan secara eksplisit, sebab kejelasan ‘label’ yang diberikan akan mempengaruhi masa depan bahasa yang bersangkutan. Pemakainya akan menyikapinya secara jelas terhadapnya. Pemakaiannya akan memperlakukannya sesuai dengan ‘label’ yang dikenakan padanya.
Di pihak lain, bagi masyarakat yang dwi bahasa (dwilingual), akan dapat ‘memilah-milahkan’ sikap dan pemakaian kedua atau lebih bahasa yang digunakannya. Mereka tidak akan memakai secara sembarangan. Mereka bisa mengetahui kapan dan dalam situasi apa bahasa yang satu dipakai, dan kapan dan dalam situasi apa pula bahasa yang lainnya dipakai. Dengan demikian perkembangan bahasa (-bahasa) itu akan menjadi terarah. Pemakainya akan berusaha mempertahankan kedudukan dan fungsi bahasa yang telah disepakatinya dengan, antara lain, menyeleksi unsur-unsur bahasa lain yang ‘masuk’ ke dalamnya. Unsur-unsur yang dianggap menguntungkannya akan diterima, sedangkan unsur-unsur yang dianggap merugikannya akan ditolak.
Sehubungan dengan itulah maka perlu adanya aturan untuk menentukan kapan, misalnya, suatu unsur lain yang mempengaruhinya layak diterima, dan kapan seharusnya ditolak. Semuanya itu dituangkan dalam bentuk kebijaksanaan pemerintah yang bersangkutan. Di negara kita itu disebut Politik Bahasa Nasional, yaitu kebijaksanaan nasional yang berisi perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pemecahan keseluruhan masalah bahasa.
B.     Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional
Janganlah sekali-kali disangka bahwa berhasilnya bangsa Indonesia mempunyai bahasa Indonesia ini bagaikan anak kecil yang menemukan kelereng di tengah jalan. Kehadiran bahasa Indonesia mengikuti perjalanan sejarah yang panjang. (Untuk meyakinkan pernyataan ini, silahkan dipahami sekali lagi Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia.) Perjalanan itu dimulai sebelum kolonial masuk ke bumi Nusantara, dengan bukti-bukti prasasti yang ada, misalnya yang didapatkan di Bukit Talang Tuwo dan Karang Brahi serta batu nisan di Aceh, sampai dengan tercetusnya inpirasi persatuan pemuda-pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 yang konsepa aslinya berbunyi:
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mengakoe bertoempah darah satoe,
Tanah Air Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mengakoe berbangsa satoe,
Bangsa Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mendjoendjoeng bahasa persatoean,
Bahasa Indonesia.
Dari ketiga butir di atas yang paling menjadi perhatian pengamat (baca: sosiolog) adalah butir ketiga. Butir ketiga itulah yang dianggap sesuati yang luar biasa. Dikatakan demikian, sebab negara-negara lain, khususnya negara tetangga kita, mencoba untuk membuat hal yang sama selalu mengalami kegagalan yang dibarengi dengan bentrokan sana-sini. Oleh pemuda kita, kejadian itu dilakukan tanpa hambatan sedikit pun, sebab semuanya telah mempunyai kebulatan tekad yang sama. Kita patut bersyukur dan angkat topi kepada mereka.
Kita tahu bahwa saat itu, sebelum tercetusnya Sumpah Pemuda, bahasa Melayu dipakai sebagai lingua franca di seluruh kawasan tanah air kita. Hal itu terjadi sudah berabad-abad sebelumnya. Dengan adanya kondisi yang semacam itu, masyarakat kita sama sekali tidak merasa bahwa bahasa daerahnya disaingi. Di balik itu, mereka telah menyadari bahwa bahasa daerahnya tidak mungkin dapat dipakai sebagai alat perhubungan antar suku, sebab yang diajak komunikasi juga mempunyai bahasa daerah tersendiri. Adanya bahasa Melayu yang dipakai sebagai lingua franca ini pun tidak akan mengurangi fungsi bahasa daerah. Bahasa daerah tetap dipakai dalam situasi kedaerahan dan tetap berkembang. Kesadaran masyarakat yang semacam itulah, khusunya pemuda-pemudanya yang mendukung lancarnya inspirasi sakti di atas.
Apakah ada bedanya bahasa Melayu pada tanggal 27 Oktober 1928 dan bahasa Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928? Perbedaan ujud, baik struktur, sistem, maupun kosakata jelas tidak ada. Jadi, kerangkanya sama. Yang berbeda adalah semangat dan jiwa barunya. Sebelum Sumpah Pemuda, semangat dan jiwa bahasa Melayu masih bersifat kedaerahan atau jiwa Melayu. Akan tetapi, setelah Sumpah Pemuda semangat dan jiwa bahsa Melayu sudah bersifat nasional atau jiwa Indonesia. Pada saat itulah, bahasa Melayu yang berjiwa semangat baru diganti dengan nama bahasa Indonesia.
“Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975 antara lain menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai-bagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya, dan (4) alat perhubungan antarbudaya antardaerah.
Sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia ‘memancarkan’ nilai-nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan keluhuran nilai yang dicerminkan bangsa Indonesia, kita harus bangga dengannya; kita harus menjunjungnya; dan kita harus mempertahankannya. Sebagai realisasi kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia, kita harus memakainya tanpa ada rasa rendah diri, malu, dan acuh tak acuh. Kita harus bngga memakainya dengan memelihara dan mengembangkannya.
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan ‘lambang’ bangsa Indonesia. Ini beratri, dengan bahasa Indonesia akan dapat diketahui siapa kita, yaitu sifat, perangai, dan watak kita sebagai bangsa Indonesia. Karena fungsinya yang demikian itu, maka kita harus menjaganya jangan sampai ciri kepribadian kita tidak tercermin di dalamnya. Jangan sampai bahasa Indonesia tidak menunjukkan gambaran bangsa Indonesia yang sebenarnya.
Dengan fungsi yang ketiga memungkinkan masyarakat Indonesia yang beragam latar belakang sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan bersatu dalam kebangsaan, cita-cita, dan rasa nasib yang sama. Dengan bahasa Indonesia, bangsa Indonesia merasa aman dan serasi hidupnya, sebab mereka tidak merasa bersaing dan tidak merasa lagi ‘dijajah’ oleh masyarakat suku lain. Apalagi dengan adanya kenyataan bahwa dengan menggunakan bahasa Indonesia, identitas suku dan nilai-nilai sosial budaya daerah masih tercermin dalam bahasa daerah masing-masing. Kedudukan dan fungsi bahasa daerah masih tegar dan tidak bergoyah sedikit pun. Bahkan, bahasa daerah diharapkan dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia.
Dengan fungsi keempat, bahasa Indonesia sering kita rasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Bayangkan saja apabila kita ingin berkomunikasi dengan seseorang yang berasal dari suku lain yang berlatar belakang bahasa berbeda, mungkinkah kita dapat bertukar pikiran dan saling memberikan informasi? Bagaimana cara kita seandainya kita tersesat jalan di daerah yang masyarakatnya tidak mengenal bahasa Indonesia? Bahasa Indonesialah yang dapat menanggulangi semuanya itu. Dengan bahasa Indonesia kita dapat saling berhubungan untuk segala aspek kehidupan. Bagi pemerintah, segala kebijakan dan strategi yang berhubungan dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan kemanan (disingkat: ipoleksosbudhankam) mudah diinformasikan kepada warganya. Akhirnya, apabila arus informasi antarkita meningkat berarti akan mempercepat peningkatan pengetahuan kita. Apabila pengetahuan kita meningkat berarti tujuan pembangunan akan cepat tercapai.
C.    Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara/Resmi
Sebagaimana kedudukannya sebagai bhasa nasional, bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi pun mengalami perjalanan sejarah yang panjang. Hal ini terbukti pada uraian berikut.
Secara resmi adanya bahasa Indonesia dimulai sejak Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Ini tidak berarti sebelumnya tidak ada. Ia merupakan sambungan yang tidak langsung dari bahasa Melayu. Dikatakan demikian, sebab pada waktu itu bahasa Melayu masih juga digunakan dalam lapangan atau ranah pemakaian yang berbeda. Bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi kedua oleh pemerintah jajahan Hindia Belanda, sedangkan bahasa Indonesia digunakan di luar situasi pemerintahan tersebut oleh pemerintah yang mendambakan persatuan Indonesia dan yang menginginkan kemerdekaan Indonesia. Demikianlah, pada saat itu terjadi dualisme pemakaian bahasa yang sama tubuhnya, tetapi berbeda jiwanya: jiwa kolonial dan jiwa nasional.
Secara terperinci perbedaan lapangan atau ranah pemakaian antara kedua bahasa itu terlihat pada perbandingan berikut ini.
Bahasa Melayu:
Bahasa Indonesia:
a. Bahasa resmi kedua di samping bahasa Belanda, terutama untuk tingkat yang dianggap rendah.
b. Bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah yang didirikan atau menurut sistem pemerintah Hindia Belanda.
c. Penerbitan-penerbitan yang dikelola oleh jawatan pemerintah Hindia Belanda.
a. Bahasa yang digunakan dalam gerakan kebangsaan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.
b. Bahasa yang digunakan dalam penerbitan-penerbitan yang bertuju-an untuk mewujudkan cita-cita perjuangan kemerdekaan Indonesia baik berupa:
1) bahasa pers,
2) bahasa dalam hasil sastra.
Kondisi di atas berlangsung sampai tahun 1945.
Bersamaan dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, diangkat pulalah bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Hal itu dinyatakan dalam Uud 1945, Bab XV, Pasal 36. Pemilihan bahasa sebagai bahasa negara bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan. Terlalu banyak hal yang harus dipertimbangkan. Salah timbang akan mengakibatkan tidak stabilnya suatu negara. Sebagai contoh konkret, negara tetangga kita Malaysia, Singapura, Filipina, dan India, masih tetap menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi di negaranya, walaupun sudah berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjadikan bahasanya sendiri sebagai bahasa resmi.
Hal-hal yang merupakan penentu keberhasilan pemilihan suatu bahasa sebagai bahasa negara apabila (1) bahasa tersebut dikenal dan dikuasai oleh sebagian besar penduduk negara itu, (2) secara geografis, bahasa tersebut lebih menyeluruh penyebarannya, dan (3) bahasa tersebut diterima oleh seluruh penduduk negara itu. Bahasa-bahasa yang terdapat di Malaysia, Singapura, Filipina, dan India tidak mempunyai ketiga faktor di atas, terutama faktor yang nomor (3). Masyarakat multilingual yang terdapat di negara itu saling ingin mencalonkan bahasa daerahnya sebagai bahasa negara. Mereka saling menolak untuk menerima bahasa daerah lain sebagai bahasa resmi kenegaraan. Tidak demikian halnya dengan negara Indonesia. Ketig faktor di atas sudah dimiliki bahasa Indonesia sejak tahun 1928. Bahkan, tidak hanya itu. Sebelumnya bahasa Indonesia sudah menjalankan tugasnya sebagai bahasa nasional, bahasa pemersatu bangsa Indonesia. Dengan demikian, hal yang dianggap berat bagi negara-negara lain, bagi kita tidak merupakan persoalan. Oleh sebab itu, kita patut bersyukur kepada Tuhan atas anugerah besar ini.
Dalam “Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25 s.d. 28 Februari 1975 dikemukakan bahwa di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia befungsi sebagai
(1) bahasa resmi kenegaraan,
(2) bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan,
(3) bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, dan
(4) bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern.
Keempat fungsi itu harus dilaksanakan, sebab minimal empat fungsi itulah memang sebagai ciri penanda bahwa suatu bahasa dapat dikatakan berkedudukan sebagai bahasa negara.
Pemakaian pertama yang membuktikan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaran ialah digunakannya bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi kemerdekaan RI 1945. Mulai saat itu dipakailah bahasa Indonesia dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan baik dalam bentuk lisan maupun tulis.
Keputusan-keputusan, dokumen-dokumen, dan surat-surat resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah dan lembaga-lembaganya dituliskan di dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato atas nama pemerintah atau dalam rangka menuanaikan tugas pemerintahan diucapkan dan dituliskan dalam bahasa Indonesia. Sehubungan dengan ini kita patut bangga terhadap presiden kita, Soeharto yang selalu menggunakan bahasa Indonesia dalam situsi apa dan kapan pun selama beliau mengatasnamakan kepala negara atau pemerintah. Bagaimana dengan kita?
Sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia dipakai sebagai bhasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi. Hanya saja untuk kepraktisan, beberapa lembaga pendidikan rendah yang anak didiknya hanya menguasai bahasa ibunya (bahasa daerah) menggunakan bahasa pengantar bahasa daerah anak didik yang bersangkutan. Hal ini dilakukan sampai kelas tiga Sekolah Dasar.
Sebagai konsekuensi pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan tersebut, maka materi pelajaran ynag berbentuk media cetak hendaknya juga berbahasa Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan menerjemahkan buku-buku yang berbahasa asing atau menyusunnya sendiri. Apabila hal ini dilakukan, sangatlah membantu peningkatan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknolologi (iptek). Mungkin pada saat mendatang bahasa Indonesia berkembang sebagai bahasa iptek yang sejajar dengan bahasa Inggris.
Sebagai fungsinya di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, bahasa Indonesia dipakai dalam hubungan antarbadan pemerintah dan penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu hendaknya diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu media komunikasi massa. Tujuan penyeragaman dan peningkatan mutu tersebut agar isi atau pesan yang disampaikan dapat dengan cepat dan tepat diterima oleh orang kedua (baca: masyarakat).
Akhirnya, sebagai fungsi pengembangan kebudayaan nasional, ilmu, dan teknologi, bahasa Indonesia terasa sekali manfaatnya. Kebudayaan nasional yang beragam itu, yang berasal dari masyarakat Indonesia yang beragam pula, rasanya tidaklah mungkin dapat disebarluaskan kepada dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia dengan bahasa lain selain bahasa Indonesia. Apakah mungkin guru tari Bali mengajarkan menari Bali kepada orang Jawa, Sunda, dan Bugis dengan bahasa Bali? Tidak mungkin! Hal ini juga berlaku dalam penyebarluasan ilmu dan teknologi modern. Agar jangkauan pemakaiannya lebih luas, penyebaran ilmu dan teknologi, baik melalui buku-buku pelajaran, buku-buku populer, majalah-majalah ilmiah maupun media cetak lain, hendaknya menggunakn bahasa Indonesia. Pelaksanaan ini mempunyai hubungan timbal-balik dengan fungsinya sebagai bahasa ilmu yang dirintis lewat lembaga-lembaga pendidikan, khususnya di perguruan tinggi.
D.    Perbedaan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional dan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara/Resmi
Perbedaan dari Segi Ujudnya
Apabila kita mendengarkan pidato sambutan Menteri Sosial dalm rangka peringatan Hari Hak-hak Asasi Manusia dan pidato sambutan Menteri Muda Usaha wanita dalam rangka peringatan Hari Ibu, misalnya, tentunya kita tidak menjumpai kalimat-kalimat yang semacam ini.
“Sodara-sodara! Ini hari adalah hari yang bersejarah. Sampeyan tentunya udah tau, bukan? Kalau kagak tau yang kebacut, gitu aja”.
Kalimat yang semacam itu juga tidak pernah kita jumpai pada waktu kita membaca surat-surat dinas, dokumen-dokumen resmi, dan peraturan-peraturan pemerintah.
Di sisi lain, pada waktu kita berkenalan dengan seseorang yang berasal dari daerah atau suku yang berbeda, pernahkah kita memakai kata-kata seperti ‘kepingin’, ‘paling banter’, ‘kesusu’ dan ‘mblayu’? Apabila kita menginginkan tercapainya tujuan komunikasi, kita tidak akan menggunakan kata-kata yang tidak akan dimengerti oleh lawan bicara kita sebagaimana contoh di atas. Kita juga tidak akan menggunakan struktur-struktur kalimat yang membuat mereka kurang memahami maksudnya.
Yang menjadi masalah sekarang ialah apakah ada perbedan ujud antara bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi sebagaimana yang kita dengar dan kita baca pada contoh di atas, dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, sebagaimana yang pernah juga kita lakukan pada saat berkenalan dengan seeorang lain daerah atau lain suku? Perbedaan secara khusus memang ada, misalnya penggunaan kosakata dan istilah. Hal ini disebabkan oleh lapangan pembicaraannya berbeda. Dalam lapangan politik diperlukan kosakata tertentu yang berbeda dengan kosakata yang diperlukan dalam lapangan administrasi. Begitu juga dalam lapangan ekonomi, sosial, dan yang lain-lain. Akan tetapi, secara umum terdapat kesamaan. Semuanya menggunakan bahasa yang berciri baku. Dalam lapangan dan situasi di atas tidak pernah digunakan, misalnya, struktur kata ‘kasih tahu’ (untuk memberitahukan), ‘bikin bersih’ (untuk membersihkan), ‘dia orang’ (untuk mereka), ‘dia punya harga’ (untuk harganya), dan kata ‘situ’ (untuk Saudara, Anda, dan sebagainya), ‘kenapa’ (untuk mengapa), ‘bilang’ (untuk mengatakan), ‘nggak’ (untuk tidak), ‘gini’ (untuk begini), dan kata-kata lain yang dianggap kurang atau tidak baku.
Perbedaan dari Proses Terbentuknya
Secara implisit, perbedaan dilihat dari proses terbentuknya antara kedua kedudukan bahasa Indonesia, sebagai bahasa negara dan nasional, sebenarnya sudah terlihat di dalam uraian pada butir 1.2 dan 1.3. Akan tetapi, untuk mempertajamnya dapat ditelaah hal berikut.
Sudah kita pahami pada uraian terdahulu bahwa latar belakang timbulnya kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara jelas-jelas berbeda. Adanya kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional didorong oleh rasa persatuan bangsa Indonesia pada waktu itu. Putra-putra Indonesia sadar bahwa persatuan merupakan sesuatu yang mutlk untuk mewujudkan suatu kekuatan. Semboyan “Bersatu kita teguh bercerai kta runtuh” benar-benar diresapi oleh mereka. Mereka juga sadar bahwa untuk mewujudkan persatuan perlu adanya saran yang menunjangnya. Dari sekian sarana penentu, yang tidak kalah pentingnya adalah srana komunikasi yang disebut bahasa. Dengan pertimbangan kesejarahan dan kondisi bahasa Indonesia yang lingua franca itu, maka ditentukanlah ia sebagai bahasa nasional.
Berbeda halnya dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi. Terbentuknya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi dilatarbelakangi oleh kondisi bahasa Indonesia itu sendiri yang secara geografis menyebar pemakiannya ke hampir seluruh wilayah Indonesia dan dikuasai oleh sebagian besar penduduknya. Di samping itu, pada saat itu bahasa Indonesia telah disepakati oleh pemakainya sebagai bahasa pemersatu bangsa, sehingga pada saat ditentukannya sebagai bahasa negara/resmi, seluruh pemakai bahasa Indonesia yang sekaligus sebagai penduduk Indonesia itu menerimanya dengan suara bulat.
Dengan demikian jelaslah bahwa dualisme kedudukan bahasa Indonesia tersebut dilatarbelakangi oleh proses pembentukan yang berbeda.
Perbedaan dari Segi Fungsinya
Setelah kita menelaah uraian terdahulu, kita mengetahui bahwa fungsi kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional berbeda sekali dengan fungsi kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Perbedan itu terlihat pada wilayah pemakaian dan tanggung jawab kita terhadap pemakaian fungsi itu. Kapan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi dipakai, kiranya sudah kita ketahui.
Yang menjadi masalah kita adalah perbedaan sehubungan dengn tanggung jawab kita terhadp pemakaian fungsi-fungsi itu. Apabila kita menggunakan bahasa Indonesia sebagai fungsi tertentu, terdapat kaitan apa dengan kita? Kita berperan sebagai apa sehingga kita berkewajiban moralmenggunakan bahasa Indonesia sebagai fungsi tertentu? Jawaban atas pertanyaan itulah yng membedakan tanggung jawab kita terhadap pemakaian fungsi-fungsi bahasa Indonesia baik dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara/resmi.
Kita menggunakan sebagai bahasa negara/resmi dipakai sebagai alat penghubung antarsuku, misalnya, karena kita sebagai bangsa Indonesia yang hidup di wilayah tanah air Indonesia. Sehubungan dengan itu, apabila ada orang yang berbangsa lain yang menetap di wilayah Indonesia dan mahir berbahasa Indonesia, dia tidak mempunyai tanggung jawab moral untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai fungsi tersebut.
Lain halnya dengan contoh berikut ini. Walaupun Ton Sin Hwan keturunan Cina, tetapi karena dia warga negara Indonesia dan secara kebetulan menjabat sebagai Ketua Lembaga Bantuan Hukum, maka pada saat dia memberikan penataran kepada anggotnyan berkewajiban moral untuk menggunakan bahasa Indonesia. Tidak perduli apakah dia lancar berbahasa Indonesia atau tidak. Tidak perduli apakah semua pengikutnya keturunan Cina yang berwarga negara Indonesia ataukah tidak.
Jadi seseorang menggunakan bahasa Indonesia sebagai penghubung antarsuku, karena dia berbangsa Indonesia yang menetap di wilayah Indonesia; sedangkan seseorang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, karena dia sebagai warga negara Indonesia yang menjalankan tugas-tugas ‘pembangunan’ Indonesia.








BAB III PENUTUP

A.    Simpulan  
Dari uraian diatas kita  dapat menarik kesimpulan bahwa Sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia dipakai sebagai bhasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi. Hanya saja untuk kepraktisan, beberapa lembaga pendidikan rendah yang anak didiknya hanya menguasai bahasa ibunya (bahasa daerah) menggunakan bahasa pengantar bahasa daerah anak didik yang bersangkutan. Hal ini dilakukan sampai kelas tiga Sekolah Dasar.
                Bahasa adalah alat komunikasi bagi manusia, baik secara lisan maupun tertulis. Hal ini merupakan fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari yang di dalamnya selalu ada nilai-nilai dan status bahasa tidak dapat ditinggalkan.

B.     Saran
 Bahasa adalah alat komunikasi bagi manusia, baik secara lisan maupun tertulis. Hal ini merupakan fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari yang di dalamnya selalu ada nilai-nilai dan status bahasa tidak dapat ditinggalkan.

Continue reading →

Rabu, 07 Maret 2012

TUGAS SENI BUDAYA

Pengertian Seni
A. Pengertian Budaya
    Budaya berasal dari bahasa Sansekerta (Buddayah), dan bentuk jamaknya adalah Budi dan Daya.
    1. Budi   : artinya akal, pikiran, nalar
    2. Daya  : artinya usaha, upaya, Ikhtiar
    Jadi kebudayaan adalah segala akal pikiran dalam berupaya atau berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

B. Pengertian Seni:
            Seni pada mulanya adalah proses dari manusia, dan oleh karena itu merupakan sinonim dari ilmu. Dewasa ini, seni bisa dilihat dalam intisari ekspresi dari kreatifitas manusia. Seni sangat sulit untuk dijelaskan dan juga sulit dinilai, bahwa masing-masing individu artis memilih sendiri peraturan dan parameter yang menuntunnya atau kerjanya, masih bisa dikatakan bahwa seni adalah proses dan produk dari memilih medium, dan suatu set peraturan untuk penggunaan medium itu, dan suatu set nilai-nilai yang menentukan apa yang pantas dikirimkan dengan ekspresi lewat medium itu, untuk menyampaikan baik kepercayaan, gagasan, sensasi, atau perasaan dengan cara seefektif mungkin untuk medium itu. Sekalipun demikian, banyak seniman mendapat pengaruh dari orang lain masa lalu, dan juga beberapa garis pedoman sudah muncul untuk mengungkap gagasan tertentu lewat simbolisme dan bentuk (seperti bakung yang bermaksud kematian dan mawar merah yang bermaksud cinta).

adapun beberapa teori seni rupa menurut beberapa tokoh :
1. Ki. Hadjar Dewanta
Seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dan bersifat indah, menyenangkan dan dapat menggerakan jiwa manusia,
2. Herbert Read
            Aktivitas menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan,
3. Ahdiat Karta Miharja
              Kegiatan rohani yang merefleksi pada jasmani, dan mempunyai daya yang bisa membangkitkan perasaan/jiwa orang lain.

C. Cabang-cabang Seni ada 5 yaitu :
1. Seni Rupa
2. Seni Tari/gerak
3. Seni Suara/Vocal/Musik
4. Seni Sastra
5. SeniTeater/drama
D. Macam-Macam Seni Rupa :
Seni Rupa Menurut Fungsinya :
a. Seni Rupa Murni (Fine Art) :
    Seni rupa yang diciptakan tanpa mempertimbangkan kegunaannya atau seni bebas (Free Arat).
    Contoh : seni lukis, seni patung, seni grafika dll.
b. Seni Rupa Terapan/pakai (Applied Art):

1. Seni lukis
            Karya seni dua demensi yang bisa mengungkapkan pengalaman atau perasaan si pencipta. Pelukis yang sedang sedih akan tercipta karya yang bersifat susah, sedangkan pelukis yang sedang gembira akan tercipta karya yang riang. Karya tersebut terlihat pada goresan, garis-garis dan pewarnaan.
2. Seni Kriya
 Karya  seni  terapan  yang  mengutamakan  kegunaan  dan  keindahan (estetis)  yang  bisa  menarik  konsumen. Seni  kriya/kerajinan (handy Craff)  ini biasanya untuk hiasan dan  cenderamata.  Karena  karya  ini termasuk  karya  yang di perjual belikan dan berguna bagi kehidupan masyarakat sehari- hari baik untuk alat rumah tangga maupun untuk hiasan.  Bahkan satu desain kriya ini bisa di produksi dalam jumlah banyak oleh industri dan di pasarkan sebagai barang dagangan.
3. Seni Patung
    Seni Patung termasuk karya 3 Demensi. Karya seni ini termasuk seni murni yang diciptakan untuk mengungkapkan ide-ide dan perasaan dari seniman yang mempunyai nilai  estestis yang tinggi.
4. Seni Dekorasi
    Karya seni yang bertujuan menghias suatu ruangan agar lebih indah. Contoh : Interior (dalam ruang : kamar, ruang pertemuan, panggung, dll)
    Eksterior (luar ruang : taman, kebun)
5. Seni Reklame
   Reklame berasal dari Bahasa Latin (Re dan Clamo) artinya berteriak berulang-ulang. Tujuannya untuk mempengaruhi, mengajak, menghimbau orang lain. Contoh : iklan, spanduk,poster, dll

E. Macam-Macam Seni Suara/Musik :
1. Musik klasik
2. Musik jazz
3. Musik pop
4. Musik bosa
5. Musik rock
6. Musik tradisional, dll.

F. Macam-Macam Seni Tari/Gerak :
1. Tari klasik
2. Tari kreasi baru
3. Tari tradisional
4. Tari modern, dll.

G. Macam-Macam Seni Sastra :
1. Puisi
2. Cerpen
3. Prosa
4 Pantun, dll.

H. Macam-Macam Seni Teater/Drama :
1. Teater lama
2. Teater komedi
3. Teater baru
4. Sendratasik (seni drama dan musik)

Seni grafis adalah cabang seni rupa yang proses pembuatan karyanya menggunakan teknik cetak, biasanya di atas kertas. Kecuali pada teknik Monotype, prosesnya mampu menciptakan salinan karya yang sama dalam jumlah banyak, ini yang disebut dengan proses cetak. Tiap salinan karya dikenal sebagai 'impression'. Lukisan atau drawing, di sisi lain, menciptakan karya seni orisinil yang unik. Cetakan diciptakan dari permukaan sebuah bahan , secara teknis disebut dengan matrix. Matrix yang umum digunakan adalah: plat logam, biasanya tembaga atau seng untuk engraving atau etsa; batu digunakan untuk litografi; papan kayu untuk woodcut/cukil kayu. Masih banyak lagi bahan lain yang digunakan dalam karya seni ini. Tiap-tiap hasil cetakan biasanya dianggap sebagai karya seni orisinil, bukan sebuah salinan. Karya-karya yang dicetak dari sebuah plat menciptakan sebuah edisi, pada masa seni rupa modern masing-masing karya ditandatangani dan diberi nomor untuk menandai bahwa karya tersebut adalah edisi terbatas

Media

Seniman grafis berkarya menggunakan berbagai macam media dari yang tradisional sampai kontemporer, termasuk tinta ber-basis air, cat air, tinta ber-basis minyak, pastel minyak, dan pigmen padat yang larut dalam air seperti crayon Caran D'Ache. Karya seni grafis diciptakan di atas permukaan yang disebut dengan plat. Teknik dengan menggunakan metode digital menjadi semakin populer saat ini. Permukaan atau matrix yang dipakai dalam menciptakan karya grafis meliputi papan kayu, plat logam, lembaran kaca akrilik, lembaran linoleum atau batu litografi. Teknik lain yang disebut dengan serigrafi atau cetak saring (screen-printing) menggunakan lembaran kain berpori yang direntangkan pada sebuah kerangka, disebut dengan screen. Cetakan kecil bahkan bisa dibuat dengan menggunakan permukaan kentang atau ketela.

Warna

Pembuat karya grafis memberi warna pada cetakan mereka dengan banyak cara. Seringkali pewarnaannya -- dalam etsa, cetak saring, cukil kayu serta linocut -- diterapkan dengan menggunakan plat, papan atau screen yang terpisah atau dengan menggunakan pendekatan reduksionis. Dalam teknik pewarnaan multi-plat, terdapat sejumlah plat, screen atau papan, yang masing-masing menghasilkan warna yang berbeda. Tiap plat, screen atau papan yang terpisah akan diberi tinta dengan warna berbeda kemudian diterapkan pada tahap tertentu untuk menghasilkan keseluruhan gambar. Rata-rata digunakan 3 sampai 4 plat, tapi adakalanya seorang seniman grafis menggunakan sampai dengan tujuh plat. Tiap penerapan warna akan berinteraksi dengan warna lain yang telah diterapkan pada kertas, jadi sebelumnya perlu dipikirkan pemisahan warna. Biasanya warna yang paling terang diterapkan lebih dulu kemudian ke warna yang lebih gelap.
Pendekatan reduksionis untuk menghasilkan warna dimulai dengan papan kayu atau lino yang kosong atau dengan goresan sederhana. Kemudian seniman mencukilnya lebih lanjut, memberi warna lain dan mencetaknya lagi. Bagian lino atau kayu yang dicukil akan mengekspos (tidak menimpa) warna yang telah tercetak sebelumnya.
Pada teknik grafis seperti chine-collé atau monotype, pegrafis kadang-kadang hanya mengecat warna seperti pelukis kemudian dicetak.
Konsep warna subtraktif yang juga digunakan dalam cetak offset atau cetak digital, di dalam software vektorial misalnya Macromedia Freehand, CorelDraw atau Adobe Ilustrator atau bitmap ditampilkan dalam CMYK atau ruang warna lain.

Teknik

Tinjauan Umum

Teknik seni grafis dapat dibagi dalam kategori dasar sebagai berikut:
  • Cetak relief, di mana tinta berada pada permukaan asli dari matrix. teknik relief meliputi: cukil kayu, engraving kayu, cukil linoleum/linocut, dan cukil logam/metalcut.
  • Intaglio, tinta berada di bawah permukaan matrix. teknik ini meliputi: engraving, etsa, mezzotint, aquatint, chine-collé dan drypoint;
  • planografi di mana matrix permukaannya tetap, hanya mendapat perlakuan khusus pada bagian tertentu untuk menciptakan image/gambar. teknik ini meliputi: litografi, monotype dan teknik digital
  • stensil, termasuk cetak saring dan pochoir.
Teknik lain dalam seni grafis yang tidak temasuk dalam kelompok ini adalah 'kolografi' (teknik cetak menggunakan kolase), proses digital termasuk giclée, medium fotografi serta kombinasi proses digital dan konvensional.
Kebanyakan dari teknik di atas bisa juga dikombinasikan, khususnya yang berada dalam kategori sama. Misalnya, karya cetak Rembrandt biasanya secara mudah disebut dengan "etsa", tapi seringkali dipakai juga teknik engraving dan drypoint, dan bahkan kadang-kadang tidak ada etsa-nya sama sekali.

CUKIL Kayu

Artikel utama untuk bagian ini adalah: cukil kayu
Cukil kayu , adalah salah satu teknik cetak relief, merupakan teknik seni grafis paling awal, dan merupakan satu-satunya yang dipakai secara tradisional di Asia Timur. Kemungkinan pertama kali dikembangkan sebagai alat untuk menciptakan pola cetak pada kain, dan pada abad ke-5 dipakai di Tiongkok untuk mencetak teks dan gambar pada kertas. Teknik cukil kayu di atas kertas dikembangkan sekitar tahun 1400 di Eropa, dan beberapa waktu kemudian di Jepang. Di dua tempat ini, teknik cukil kayu banyak digunakan untuk proses membuat gambar tanpa teks.Seniman membuat skets terlebih dulu pada sebidang papan kayu, atau di kertas yang kemudian ditransfer ke papan kayu. Tradisionalnya, seniman kemudian menyerahkan rancangannya ke ahli cukil khusus, yang menggunakan peralatan tajam untuk mencukil bagian papan yang tidak akan terkena tinta. Bagian permukaan tinggi dari papan kemudian diberi tinta dengan menggunakan roller, lalu lembaran kertas, yang mungkin sedikit lembap, ditaruh di bawah papan. Kemudian papan digosok dengan baren (alat yang digunakan di Jepang) atau sendok, atau melalui alat press. Jika memakai beberapa warna, papan yang terpisah dipakai untuk tiap warna

Continue reading →

Followers

Visitors

About Us

Advertise

Murakata Counter